My life is Biosains
Jumat, 04 Mei 2012
STRATEGI ISOLASI ENZIM AMYLASE
STRATEGI
ISOLASI ENZIM AMYLASE
Strategi
pemilihan sumber karbon yang baik sebagai substrat sangat penting dilakukan
untuk mendapatkan hasil isolasi bakteri amylase yang maksimal, dalam hal ini
dapat digunakan substrat yang berasal dari maltosa. Komposisi dan konsentrasi media sangat mempengaruhi
produksi dari enzim tersebut. Keberadaan pati tersebut akan
menginduksi produksi amilase. Keadaan
lingkungan dan sumber nitrogen pada media kultur juga akan mempengaruhi
pertumbuhan produksi amilase. Penambahan kalsium atau pepton 1% akan memperpendek periode lag dan menambah
pertumbuhan dan sintesis amilase. Disamping karbon dan nitrogen, sodium dan garam
potassium, ion metal, dan detergen juga akan mempengaruhi produksi amilase dan
pertumbuhan mikroorganisme. Penambahan
glukosa pada kultur dapat mengurangi dari sintesis a-amilase, hal ini bisa
disebabkan karena glukosa mempengaruhi kegiatan bakteri ini. Suhu
optimum pada sintesis amilase adalah sekitar 500 C dan pH optimum
untuk sintesis amilase sekitar 7,0. Ekstrak enzim dipertahankan aktivitasnya
100% ketika diinkubasi selama 1 jam pada suhu 900 C dan 40% pada
suhu 600 C selama 24 jam.
Pengujian
produksi amylase dapat dideteksi dengan penambahan reagen iodine pada tiap
koloni yang tumbuh pada media untuk menyeleksi bakteri penghasil amylase. Isolat
yang menghasilkan amylase ditunjukkan dengan adanya zona bening di sekitar
koloni. Enzim amylase dapat
dipisahkan dari protease dengan menambahkan insoluble
starch ke dalam kultur untuk menyerap amilase.
Strategi
untuk isolasi bakteri penghasil amylase tahan pada suhu tinggi (termofilik)
secara umum sama dengan penjelasan diatas. Pada dasarnya bakteri ini diisolasi untuk
memperoleh enzim α-amilase dengan protein yang tahan panas. Beberapa
keuntunganya adalah memiliki laju reaksi yang tinggi, memiliki sifat fisik
medium yang menguntungkan, menurunkan resiko kontaminasi dan pertumbuhan
bakteri pathogen serta menghasilkan bakteri termostabil. Bakteri tersebut dapat
diisolasi dari laingkungan alam yang bersuhu tinggi atau daerah yang memiliki
gunung berapi (Brock, 1985). Sehingga untuk mengisolasi bakteri tersebut
dibutuhkan strategi khusus. Selain dibutuhkan substrat yang mengandung maltose juga
dibutuhkan pH serta suhu yang sesuai dengan lokasi pengambilan sampel. Sehingga
sangat penting mengukur parameter fisik dan kimia di lokasi pengambilan. Suhu
yang dapat digunakan untuk mengisolasi bakteri termofilik berkisar antara 55-75oC,
karena pada kisaran suhu ini beberapa bakteri termofilik memiliki kecepatan
tumbuh yang maksimal (Brock, 1985).
By: Rizki_nisfi@yahoo.com
Rabu, 02 Mei 2012
Pengaturan gen eukariotik
PENGATURAN
GEN EUKARIOTIK
1.
Pendahuluan
Pengaturan atau kontrol ekspresi gen merupakan suatu
pengaturan jumlah produk gen yang ada di dalam sel mahluk hidup. Dalam
pengaturan ekspresi gen tersebut harus didapatkan keseimbangan antara dua faktor
yaitu kecepatan sintesis atau jumlah molekul yang diproduksi oleh gen persatuan
waktu, dan kecepatan degradasi yaitu jumlah molekul yang mengurai persatuan
waktu. Pengaturan tersebut meliputi pengaturan transkripsi, penguraian dRNA,
pemprosesan dRNA dan translasi. Apabila jumlah transkrip yang disintesis
persatuan waktu berkurang maka jumlah produk gen yang ada di dalam sel juga
akan berkurang, dan jika molekul dRNA mengalami degradasi sebelum translasi
berlangsung maka sintesis produk gen juga akan terbatas jumlahnya.
Produk-produk gen tertentu seperti protein
ribosomal, rRNA, tRNA, RNA polimerase, dan enzim-enzim yang mengatalisis
berbagai reaksi metabolisme yang berkaitan dengan fungsi pemeliharaan sel
merupakan komponen esensial bagi semua sel. Gen-gen yang menyandi pembentukan
produk semacam itu perlu diekspresikan terus-menerus sepanjang umur individu di
hampir semua jenis sel tanpa bergantung kepada kondisi lingkungan di
sekitarnya. Sementara itu, banyak pula gen lainnya yang ekspresinya sangat ditentukan
oleh kondisi lingkungan sehingga mereka hanya akan diekspresikan pada
waktu dan di dalam jenis sel tertentu yang harus ada mekanisme pengaturan
ekspresinya.
Pada sel eukarotik ditemukan adanya mekanisme
pengaturan ekspresi gen seperti operon pada prokariot, namun tidak begitu
penting pada eukariot. Hanya pada eukariot tingkat rendah seperti fungi yang
dapat ditemukan satuan-satuan operon atau mirip operon. Semua mRNA pada
eukariot tingkat tinggi adalah monosistronik, yaitu hanya membawa urutan sebuah
gen struktural. Transkrip primer yang adakalanya menyerupai polisistronik pun
akan diproses menjadi mRNA yang monosistronik. Selain itu, pada sel eukariotik
telah terjadi evolusi regulasi gen yang lebih rumit, karena pada sel tipe sel
tersebut mengalami perkembangan sel embrional yang dapat menimbulkan perbedaan
struktur dan fungsi sel yang lebih kompleks. Sehingga dengan adanya
deferensiasi sel tersebut maka akan adanya deferensiasi ekspresi gen, oleh
karena itu sel tulang tidak akan membuat pigmen retina untuk menanggapi
rangsangan cahaya, begitu juga tidak akan dapat mensintesis insulin.
2.
Perbedaan
secara umum sel Eukariotik dari sel prokarotik
a. Eukariotik
mengandung lebih banyak informasi genetik, selain itu DNA eukariotik dilengkapi
dengan histon dan protein lainnya untuk membuat kromatin yang berperan penting sebagai
sakelar pengatur utama kontrol ekspresi. Pada saat kromatin dalam keadaan
kondensasi yang terlihat sebagai kromosom maka DNA tidak dapat ditranskrip.
b. Informasi
genetik pada eukariotik tersimpan di beberapa kromosom dan terbungkus oleh dua
lapis membran inti, sedangkan pada prokariotik hanya pada satu kromosom.
c. Informasi
genetik pada eukariotik terpisah dari sitoplasma sehingga transkripsi dan
translasi dipisahkan oleh ruang, sehingga proses transkripsi terjadi di dalam
inti sel sedangkan translasi terjadi di dalam sitoplasma.
d. RNA
hasil transkripsi diproses terlebih dahulu sebelum dipindah ke dalam sitoplasma
e. dRNA
pada eukariotik memiliki waktu paruh yang lebih lama dibandingkan dRNA
prokariot. Pada saat sel prokariot membutuhkan untuk sintesis protein lagi,
proses transkripsi segera dihentikan dan dRNA yang telah ada akan lebur dalam
beberapa menit.
f. Eukariotik
memiliki kontrol translasi karena dRNA lebih stabil.
g. Sebagian
besar eukariotik adalah organism multiseluler dengan tipe sel yang
berbeda-beda. Setiap tipe sel menggunakan seperangkat gen yang berbeda untuk
mensintesis protein yang berbeda sekalipun setiap sel memiliki perangkat yang
sama lengkapnya.
Ekspresi gen dimulai dengan proses transkripsi dan
berakhir dengan katalis enzim reaksi kimia tertentu atau metabolik protein
struktur. Pengaturan gen dilakukan dengan beberapa ekspresi gen antara lain,
transkripsi, prosesing RNA, transport mRNA dari nucleus, translasi,
post-translasi (protein fungsional).Berikut penjelasan sencara rinci dari semua
tahap pengaturan ekspresi gen tersebut:
3.
Transkripsi
Secara umum, mekanisme pada eukariotik serupa dengan
yang terjadi di prokariotik. Hanya saja pada eukariotik memiliki Kontrol unsur
yang membentuk komplek inisiasi transkripsi, gen codable yang terdiri dari intron dan ekson, serta pemutus sinyal
yang dapat mengakhiri transkripsi. Proses transkripsi diawali oleh proses
penempelan faktor-faktor transkripsi dan kompleks enzim RNA polymerase pada
daerah promoter. Berbeda dengan prokariot, RNA polymerase pada eukariot tidak
menempel langsung dengan pada DNA di daerah promoter. Melainkan melalui
perantaraan protein-protein lain yang disebut sebagai faktor transkripsi.
Faktor transkripsi dibeakan menjadi dua kelompok yaitu: Faktor transkripsi umum
dan Faktor transkripsi khusus. Faktor transkripsi umum berperan untuk
mengarahkan RNA polymerase ke promoter. Penempelan RNA polimerase pada promoter
oleh factor tersebut hanya menghasilkan transkripsi pada level dasar, sedangkan
pengaturan gen yang lebih spesifik dilakukan oleh factor transkripsi khusus
untuk suatu gen. Meskipun demikian, proses penempelan tersebut sangat penting
untuk kelangsungan proses transkripsi. Setelah faktor-faktor transkripsi umum
dan RNA polimerase menempel pada promoter, selanjutnya akan terjadi pembentukan
kompleks promoter terbuka. Transkripsi dimulai pada titik awal transkripsi (RNA initiation site, RIS) yang terletak
beberapa nukleotida sebelum urutan kodon awal ATG.
Penyusunan kompleks faktor transkripsi umum dan RNA
polimerase II pada daerah promoter membentuk kompleks pra-inisiasi yang akan
segera mengawali transkripsi jika terdapat nukleotida. Ikatan tersebut
menyebabkan daerah promoter menjadi terbuka sehingga RNA polimerase II dapat
membaca urutan DNA pada cetakan. Faktor transkripsi umum yang berperan dalam
mengarahkan RNA polimease ke promoter antara lain: TFIIA, TFIIB, TFIID, TFIIE,
TFIIF, TFIIH dan TFIIJ. Faktor-faktor tersebut akan menempel ke daerah promoter
secara bertahap sebelum akhirnya terbentuk kompleks prainisiasi. Mekanisme
penempelan faktor transkripsi tersebut sebagai berikut:
1)
TFIID menempel pada bagian TATA Box pada promoter, yang dibantu oleh faktor
TFIIA sehingga membentuk kompleks DA. Peranan TFIIA adalah meningkatkan data
ikat TFIID terhadap TATA Box.
2)
Kemudian diikuti oleh penempelan faktor
TFBII
3)
Faktor TFIIF selanjutnya menempel yang
diikuti oleh penempelan RNA polimerase II.
4)
Akhirnya faktor TFIIE akan menempel dan
diikuti oleh TFIIH dan TFIIJ
Kompleks pra-inisiasi yang terbentuk disebut sebagai
kompleks DABPolFEH. Sehingga dapat diketahui bahwa pada eukariotik RNA
polimerae II tidak secara langsung menempel pada promoter melainkan melalui
perantaraan faktor transkripsi. Setelah terbentuk kompleks pra inisiasi RNA
polimerase II siap untuk melakukan proses transkripsi jika ada nukleotida.
Faktor transkripsi yang penting untuk mengawali inisiasi proses transkripsi
adalah TBP, TFIIB, TFIIF, dan RNA polimerase II tanpa adanya TFIIE dan TFIIH,
sebenarnya sudah dapat terjadi transkripsi namun tidak sempurna. Pembentukan
transkripsi yang tidak sempurna tersebut menandakan telah terbentuknya kompleks
inisisasi termasuk terjadinya pembukaan DNA secara lokal dan pembentukan ikatan
pospodiester pertama. Dalam hal ini faktor TFIIE dan TFIIH tidak diperlukan
dalam proses inisiasi melainkan diperlukan dalam proses pelepasan dari promotor
yang menandai dimulainya transkripsi (pemanjangan transkip) secara aktif.
Pelepasan dari promotot tersebut dikatalisis oleh aktifitas DNA helikase yang
dimiliki oleh TFIIH sehingga menyebabkan terbukanya DNA pada daerah promotor.
Hal ini dilakukan dengan cara memuntir DNA di daerah hilir dari bagian yang
berikatan dengan faktor transkripsi yang lain sehingga terbentuk gelembung
transkripsi. Pembentukan gelembung transkripsi memunkinkan RNA polimerase untuk
memulai transkripsi dan bergerak dari hilir sepanjang 10-12 nukleotida.
Pergerakan RNA polimerase tersebut dibantu oleh aktifitas TFIIH yang menyebabkan
pemanjangan gelembung transkripsi
TFIID
merupakan faktor transkripsi pertama yang secara berikatan dengan TATA Box
sehingga penempelan faktor transkripsi ini akan mengarahkan faktor-faktor yang
lain dan RNA polimerase II untuk mengenali promoter. Faktor TFIID merupakan
kompleks protein yang terdiri atas beberapa protein yaitu protein pengikat TATA
Box (TATA Box binding protein, TBP),
dan TAF (faktor transkripsi yang terkait dengan TBP). Pada saat kompleks
pra-inisiasi sudah terbentuk, RNA polimerase bersama-sama dengan TFIIH menutupi
promoter.Faktor tersebut berperan dalam proses fosforilisasi RNA polymerase II
menjadi bentuk IIO, selain itu juga mempunyai aktivitas kinase CTD. Bentuk RNA
polymerase IIO inilah yang selanjutnya melakukan pemanjangan transkrip.
Fosforilisasi terjadi pada asam-asam amino pada bagian CTD yang terdapat pada
subunit RNA polymerase II yang paling besar.Fosforilisasi tersebut memicu
perubahan perubahan status RNA polymerase II dari keadaan pra-inisiasi menjadi
inisiasi dan selanjutnya terjadi pemanjangan transkrip. Hal tersebut
dikarenakan fosforilasasi RNA polymerase II menyebabkan ikatan antara CTD
dengan TBP menjadi lemah
Proses
pemanjangan transkrip distimulasi oleh suatu factor yang disebut TFIIS dengan
cara membatasi jeda dalam proses polymerase oleh RNA polymerase. Proses
pemanjangan transkrip akan berjalan sampai RNA polymerase II mencapai daerah
terminator. Terminasi transkripsi dalapt berlangsung karena adanya aktivitas
fosfatase yang spesifik untuk CTD sehingga mengembalikan RNA polymerase II
menjadi bentuk yang tidak mengalami fosforilisasi. Dalam keadaan tersebut, RNA
polimerae II dapat digunakan kembali dalam proses transkripsi selanjutnya.
Dengan demikian, RNA polymerase II dapat digunakan secara berulang-ulang dalam
proses transkripsi gen. Berikut skema secara umum proses transkripsi yang
melibatkan RNA polymerase II.
|
Gambar 1. Skema
transkripsi (RNA polymerase II)
4. Pemrosesan
Transkrip Pasca-Transkripsi
Berbeda dengan
prokariot yang proses transkripsi dan translasi berlangsung hampir serentak
yaitu sebelum transkripsi selesai dilakukan, translasi sudah dapat dimulai. Hal
tersebut terjadi karena pada prokariot tidak ada hambatan struktural sel karena
semua komponen transkripsi dan translasi terletak pada sitoplasma yang sama.
Sedangkan pada sel eukariotik proses tanskripsi berlangsung di dalam nukleus
sedangkan translasi terjadi di dalam nukleus dan proses translasi terjadi di
dalam sitoplasma. Sehingga translasi baru dapat berjalan jika proses
transkripsi selesai dijalankan. Jeda waktu tersebut disebut sebagai fase
pasca-transkripsi. Pada fase ini terjadi beberapa proses yang unik pada
eukariot antara lain (1) pemotongan dan penyambungan RNA (RNA spilicing),
(2) poliadenilasi (penambahan gugus poli-A pada ujung 3’ mRNA), (3) penambahan
tudung (cap) pada ujung 5’ mRNA.
A. Pemotongan dan Penyambungan RNA
(Splicing)
Pada
organism eukariotik terdapat gen yang organisasinya tersusun atas ekson dan
intron, meskipun tidak semua gen eukariotik mempunyai intron. Pada awalnya, gen
yang terdiri atas ekson dan intron ditranskripsi meghasilkan pre-mRNA (transkrip primer) karena masih
mengandung sekuen intron. Pada tahapan selanjutnya intron akan dipotong dari
pre-mRNA dan ekson-ekson yang ada selanjutnya disambung menjadi mRNA yang
matang (mature mRNA). Proses
pemotongan intron dan penyambungan kembali ekson-ekson disebut sebagai proses
penyambungan RNA (RNA splicing).
Transkrip mRNA yang sudah matang inilah yang selanjutnya akan ditranslasi.
Berikut skema proses splicing RNA:
Gambar
2. Skema dasar proses splicing RNA
Proses splicing RNA merupakan proses
yang sangat akurat. Akurasi proses peotongan dan penyambungan ditentukan oleh
suatu urutan nukleotida yang dikenal sebagai splicing signals. Sejauh ini urutan nukleotida lestari yang
ditemukan pada beberapa intron yang berbeda yang diketahui adalah dua
nukleotida pada ujung intron, yaitu:
Ekson-GU………………….AG-Ekson
|
Intron
|
Selain urutan tersebut juga terdapat urutan pada bagian
pertemuan antara ekson dengan intron. Pada gen-gen yang ada dalam nukleus.
Urutan konsesusnya adalah sebagai berikut:
Gambar
3. Sekuen konsensus pada daerah perbatasan intron-ekson pada prekusor mRNA
Sinyal
untuk pemotongan intron dan penyambungan ekson pada prekusor mRNA gen-gen pada
nukleus sangat beragam yaitu kedua basa intron basa hampir selalu mengandung GU
dan dua basa terakhir selalu mengandung AG. Selain itu keseluruhan sekuens
consensus sangat penting untuk pemotongan intron dan penyambungan ekson secara
tepat. Terjadinya mutasi pada sekuen konsensus dapat menyebabkan splicing
abnormal. Sifat lestari ujung 5’ dan 3’ pada sisi pemotongan –penyambungan
serta kotak TACTAAC menunjukkan bahwa hal ini mempunyai fungsi sangat penting
dalam ekspresi genetik. Mutasi pada bagian tersebut dapat menyebabkan perubahan
fenotip pada banyak organism eukariotik, karena bagian ini bertanggungjawab
dala pemunculan penyakit menurun pada manusia misalnya kelainan hemoglobin. Proses
pemotongan intron dan transkrip RNA terdiri atas tiga tipe yang bebeda yaitu :
a. Mekanisme Splicing Prekurson RNA inti sel
Proses
splicing menghasilkan suatu struktur
cabang yang disebut dengan lariat,
yaitu suatu struktur yang bentuknya seperti tali laso. Pada tahap pertama,
gugus 2’-OH nukleotida adenine yang ada dalam intron menyerang ikatan
fosfodiester yang menghubungkan ekson 1 dengan intron. Hal ini menyebabkan
terputusnya ikatan antara ekson 1 dengan intron sehingga dihasilkan ekson 1
yang bebas dan struktur lariat yang merupakan gabungan antara intron dengan
ekson 2. Struktur lariat tersebut mempunyai ujung 5’ GU yang berikatan dengan titik
percabangan melalui ikatan fosfodiester. Pada tahap kedua, ujung 3’-OH pada
ekson 1 menyerang ikatan fosfodiester antara intron dan ekson 2 menghasilkan
struktur intron berbentuk lariat dan
ekson 1 atau ekson 2 yang bersambungan. Penyambungan antara ekson 1 dan ekson 2
diperantarai oleh gugus fosfat pada ujung 5’ ekson 2. Berdasarkan penelitian
pada Khamir, menunjukkan bahwa splicing
berlangsung di dalam suatu partikel yang berukuran 40S yang disebut sebagai spliceosome. Partikel tersebut berperan
penting dalam proses splicing karena pre-mRNA yang mengalami mutasi dari AÃ
C pada titik percabangan tidak dapat melakukan splicing. Hal ini disebabkan RNA semacam ini tidak mampu membuat
struktur dalam spliceosom. Selain
partikel tersebut, faktor lain yang juga berperan penting dalam splicing adalah molekul RNA berukuran
kecil yang disebut small nuclear RNA
(snRNA) yang berasosiasi dengan suatu protein membentuk kompleks small ribonuclear protein (snRNP) yang
terdiri atas U1, U2, U4, U5 dan U6. Berikut skema proses splicing oleh adanya spliceosome.
Gambar 4.
Mekanisme Splicing
Berdasarkan skema tersebut dapat
diketahui bahwa splicing RNA
dikatalis oleh perakitan sRNP dan ditambah dengan protein lainnya yang
bersama-sama membentuk spliceosome. Spliceosome sebagai pengenal sinyal pada
molekul pre-mRNA yang membawa kedua ujung intron bersama-sama dan dan
menyediakan aktivitas enzimatik untuk dua tahap reaksi (dapat dilihat Gambar 5 berikut):
|
Gambar 5. Reaksi Splicing RNA
Pada
kedua reaksi tersebut, (A) menunjukkan langkah pertama yaitu nukleotida adenine
spesifik dalan sekuen intron menyerang situs sambungan (splice site) ujung 5’ dan memotong sugar-phosphate backbone RNA. Pemotongan ujung 5’ dari intron
menjadi secara kovalen terhubung dengan nukleotida adenine, seperti yang
ditunjukkan pada (B) akhirnya dapat membuka Loop
molekul RNA. Pelepasan ujung 3’-OH dari sekuen ekson kemudian bereaksi dengan
mulainya sekuen ekson selanjutnya, penggabungan dua ekson bersama dan
melepaskan sekuen intron dalam bentuk lariat. Dua sekuen ekson menjadi
bergabung menjadi sekuen pengkode secara kontinyu, pelepasan sekuen intron
terdegradasi pada waktunya.
Selanjutnya (gambar 4), situs branch-point pertama kali dikenali oleh
BBP (Branch-point binding protein)
dan U2AF, protein bantu (helper protein).
Dalam langkah selanjutnya, U2 snRNP menggantikan BBP dan U2AF dan pembentukan
pasangan basa dengan dengan situs sekuen konsensus dan pembentukan pasangan
basa U2 snRNP dengan splice junction
5’ (Gambar 5). Pada tahap ini, U4/U6, U5 ‘triple” memasuki spliceosome. Dalam triple snRNP, snRNAS U4 dan U6 dipegang kuat bersama
oleh interaksi pasangan basa dan snRNP U5 terhubung lebih longgar. Beberapa
penyusunan ulang RNA-RNA kemudian terjadi pemecahan pasangan basa U4/U6 (snRNP
U4 dikeluarkan dari spliceosome sebelum splicing selesai) dan memungkinkan
snRNP U6 menggantikan U1 pada splice
junction 5’. Penyusunan ulang selanjutnya membuat situs aktif dari
spliceosome dan dan bagian posisi yang sesuai dari subtrats pre-mRNA untuk
reaksi splicing terjadi. Berikut
beberapa penyusunan ulang yang terjadi di spliceosome selama splicing pre-mRNA.
|
Gambar 6. Penyusunan ulang pada spliceosome
Pada gambar tersebut merupakan rincian
proses penyusunan ulang pada spliceosome selama
pra-mRNA pada Saccharomyces cerevisiae,
dimana sekuen nukleotida yang terlibat sedikit berbeda dengan yang terdapat
pada sel manusia. (A) Pertukaran U1 snRNP untuk U6 snRNP terjadi sebelum reaksi fosforil-transfer pertama. Pertukaran
tersebut menungkinkan 5’ splice dibaca oleh snRNPs berbeda, sehingga dapat
meningkatkan akurasi seleksi situs 5’ splice oleh spliceosome. (B) Situs branch-point
pertama kali dikenali oleh BBP dan kemudian oleh U2 snRNP seperti pada bagian
(A), strategi “Chek and Rechek” memberikan akurasi yang meningkat dari situs
seleksi. Pengikatan U2 ke branch-point akan memaksi adenine yang sesuai untuk
menjadi tidak berpasangan, dengan demikian dapat mengaktifkan penyerangan
terhadap situs splice 5’. Dalam hal ini, kombinasi dengan pengenalan oleh BBP
merupakan cara spliceosome memilih adenine secara akurat untuk membentuk branch
poin. (C) Setelah
reaksi fosforil-transfer pertama (kiri) telah terjadi, snRNP
U5 mengalami penataan ulang yang membawa dua ekson ke dalam jarak dekat untuk reaksi fosforil-transfer kedua (kanan).
kedua posisi
snRNAs reaktan dan memberikan (baik semua atau sebagian) situs katalitik untuk dua reaksi. snRNP U5 hadir dalam spliceosome sebelum penataan ulang ini terjadi, karena kejelasan itu telah dihilangkan dari panel kiri.
b.
Mekanisme splicing secara autokatalik
Mekanisme
ini terjadi pada prekursor rRNA tanpa melibatkan enzim. Lebih jauh telah
diketahui pula bahwa mekanisme semacam ini juga terjadi pada pemotongan intron
prekursor rRNA, tRNA, mRNA yang ada pada mitokondria dan kloroplas banyak
spesies, misalnya pemotongan intron gen 26s rRNA dan tetrahymena. Mekanisme splicing autokatalitik tidak memerlukan
energi maupun enzim tetapi melibatkan reaksi transfer ikatan fosfoester tanpa
ada ikatan yang hilang. Proses pemotongan intron secara autokatalitik dapat
dibedakan menjadi dua yaitu pada gen-gen yang mengandung intron grup I dan
intron grup II. Pada intron grup I (misalnya 26s rrn pada tetrahymena), proses splicing melibatkan penambahan
nukleotida guanine pada ujung 5’ intron. Guanine tersebut adalah nukleotida
yang berasal dari luar, bukan bagian integral intron seperti yang diamati pada splicing menggunakan spliceosome. Pada tahap pertama,
nukleotida guanine menyerang nukleotida adenine pada ujung 5’ intron dan
melepaskan ekson 1. Pada tahap kedua, ekson 1 menyerang ekson 2 sekaligus
melakukan penyambungan ekson 1 dan ekson 2 serta melepaskan intron berbentuk
linier. Selanjutnya, dengan proses yang berbeda, intron linier dipotong
nukleotidanya sebanyak 19 nukleotida dari ujung 5’
c. Mekanisme splicing prekursor tRNA
Mekanisme
splicing prekursor tRNA pada sacchromyces cerevisiae melalui dua
tahapan penting. Dalam tahapan pertama, enzim yang disebut splicing edonuklease (tRNA endonucleasse)
yang terikat pada membran nukleus melakukan dua pemotongan secara tepat pada
kedua ujung intron. Selanjutnya pada tahap ke dua suatu enzim yang disebut splicing ligase (RNA ligase) menyambung
kedua bagian tRNA sehingga dihasilkan molekul tRNA yang sedah matang (mature tRNA). Beberapa mekanisme splicing yang dijelaskan adalah
mekanisme cis splicing yaitu proses splicing yang melibatkan dua ekson atau
lebih yang ada pada gen yang sama. Penelitian pada triphanosoma, protozoa yang
memiliki alat gerak flagella, menunjukkan terdapat mekanisme splicing alternatif yang disebut trans-splicing . Pada trans-splicing ekson-ekson yang
digabungkan berasal dari gen yang sama, bahkan dapat berasal dari kromosom yang
berbeda. Penelitian yang lebih lanjut pada organisme tersebut menunjukkan bahwa
semua mRNA mempunyai 35 nukliotida awal (leader), disebut sebagai splicid leader (SL), tetapi gen-gen yang
mengkode mRNA tersebut tidak mempunyai urutan komplementer ke 35 nukleotida
awal. Gen yang mengkode SL tersebut diketahui berulang sekitar 200 kali pada
genon tripanosoma. Gen tersebut hanya mengkode SL ditambah 100 nukleotida yang
tersambung pada sl melalui sekeuen splicing
konsensus pada ujung 5’. Dengan demikian gen mini tersebut tersusun ekson SL
yang pendek dan ujung 5’ suatu intron. Berikut skema mekanisme splicing
prekursor tRNA:
|
Gambar. Skema mekanisme splicing tRNA
B. Poliadenilase
Transkip
mRNA pada eukariot juga mengalami pemrosesan dalam bentuk penambahan poli-A (rantai AMP) pada ujung 3’
sepanjang kurang lebih 200-250 nukleotida. Penambahan poli-A tersebut
ditambahkan pasca-transkripsi karena tidak ada bagian gen yang mengkode
rangkaian A atau T semacam ini. Penambahan tersebut dilakukan dengan
menggunakan aktivitas enzim poli (A) polimerase yang ada di dalam nukleus. Sebagian
mRNA mengandung poli-A, kecuali mRNA histon.
Penambahan
poli-A pada ujung 3’ meningkatkan
stabilitas mRNA sehingga mRNA mempunyai umur yang lebih panjang dibandingkan
dengan mRNA yang tidak mempunyai poliA. Selain itu juga ada bukti yang
menunjukan bahwa keberadaan poli-A
meningkatkan efisiensi translasi mRNA semacam itu. Diketahui ada suatu protein,
yaitu poly (A)-binding protein I, yang
menempel pada poliA sehingga meningkatkan efisiensi translasi.
Bukti lain juga menegaskan bahwa mRNA yang mempunyai poli-A mempunyai kemungkinan yang lebih tinggi untuk mengikat
ribosom sehingga dapat meningkatkan efisiensi translasi dibandingkan mRNA yang
tidak mengalami poliadenilasi. Poliadenilasi dilakukan pada prekursor mRNA
bahkan sebelum terjadi terminasi transkripsi. Hal tersebut dilakukan dengan
cara memotong prekursor pada bagian yang nantinya akan menjadi bagian mRNA yang
matang, kemudian dilanjutkan dengan menambahkan poli-A pada ujung 3’ yang terbuka. Bagian mRNA yang disintesis
setelah selesai sisi poliadenilasi yang selanjuutnya didegradasi.
Tempat
dilakukan poliadenilasi dicirikan oleh sinyal
poliadenilasi pada gen mamalia. Sinyal tersebut terdiri dari rangkaian
nukleotida AATAAA yang diikuti oleh sekitar 20 nukleotida yang kaya akan residu
GT serta diikuti oleh motif yang kaya akan T. Transkip mRNA pada tanaman dan
khamir juga mengalami poliadenilasi tetapi sinyal poliadenilasinya berbeda dari
yang ada pada mamalia karena ada variasi pada sekuens AATAAA. Pada khamir,
jarang sekali ada motif AATAAA yang ditemukan.
C.
Penambahan tudung (cap) pada ujung 5’ mRNA
Organisme
eukariot mengalami metilasi (penambahan gugus metil) yang sebagian besar
terakumulasi pada ujung 5’ mRNA. Stuktur ini kemudian dikenal sebagai tudung
mRNA (mRNA cap). Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Yasuhiro Furuichi
dan Kin-Ichiro Miura menunjukan bahwa tudung mRNA tersebut berupa molekul
7-metilguanosin (m7G). Tudung mRNA tersebut disintesis dalam
beberapa tahapan. Yang pertama, enzim RNA trifosfatase memotong gugus fosfat
pada ujung pre mRNA, kemudian enzim guanili transferase memotong gugus fosfat
pada ujung pre mRNA.Kemudian enzim guanili transferase menambahkan GMP
(guanosin fosfat). Selanjutnya, enzim metil transferase melakukan metilasi
tudung guanosin pada N7 dan gugus 2’-O metil pada nukleotida ujung
tudung tersebut. Proses penambahan tudung tersebut berlangsung pada tahapan
awal transkripsi sebelum transkrip mencapai panjang 30 nukleotida.
Tudung
mRNA mempunyai empat macam fungsi, yaitu: (1) melindungi mRNA dari degradasi.
(2) meningkatkan efisiensi translasi mRNA, (3) meningkatkan pengangkutan mRNA
dan nukleus ke sitoplasma dan (4) meningkatkan efisiensi proses spilicing mRNA. Tudung m7G
berikatan dengan mRNA melalui ikatan trifosfat. Tudung tersebut juga
meningkatkan efisiensi translasi karena ribosom dapat mengakses mRNA melalui
suatu protein yang menempel pada tudung. Dengan demikian, jika tidak ada
tudung, maka protein yang melekat pada tudung tidak akan menempel. Hal itu
akhirnya akan mengurangi kemungkinan ribosom untuk menempel dan melakukan
translasi.
5.
Pemrosesan
rRNA dan tRNA
Molekul
rRNA yang dihasilkan pada prokariot maupun eukariot pada awalnya berupa prekursor
yang berukuran lebih panjang dari molekul yang matang. Sebagai contoh, pada
mamalia, dihasilkan prekusor rRNA yang berukuran 45s yang sesungguhnya terdiri
atas ukuran yang lebih kecil yaitu 28 s, 18s, dan 5,8s. Nukleotida diantara
unit-unit kecil tersebut harus dipotong (diproses) untuk menghasilkan unit-unit
fungsional yang lebih kecil. Perlu diperhatikan bahwa pemrosesan prekusor rRNA
yang dimaksud disini bukanlah splicing, karena splicing adalah proses pemotongan intron yang ada di dalam struktur
intenal transkrip dan diikuti oleh penyambungan ekson. Pada pemrosesan prekursor
rRNA semacam ini tidak ada penyambungan kembali molekul-molekul rRNA yang sudah
dipotong karena masing-masing unit yang dihasilkan adalah unit independen.
Selain
rRNA, molekul tRNA juga disintesis dalam dibentuk prekursor. Pada prokariot,
prekusor tersebut dapat terdiri atas satu tRNA atau lebih, atau kadang
bercampur dengan rRNA. Untuk memotong prekusor yang terdiri atas lebih dari
satu tRNA atau campuran tRNA dan rRNA pada prokariot diperlukan aktifitas enzim
RNAse III. Setelah dipotong, tRNA masih mengandung beberapa nukleotida pada
ujung 5’ maupun 3’. Demikian pula pada eukariot, ujung 5’ dan 3’ pada prekusor
tRNA mengandung beberapa nukleotida. Nukleotida tambahan yang ada pada ujung 5
‘ pada prekusor tRNA prokariot maupun eukariot akan dipotong oleh enzim RNAse P,
sedangkan ujung 3’nya akan diproses dengan enzim RNAse D., RNAse BN, RNAse T,
RNAse PH, RNAse II, dan polinukleotida fosforilase (PNPase).
6.
Penyuntingan
RNA
Selain
fenomena trans-splicing, pada
tripanosoma juga terdapat mekanisme pasca transkripsi lain yang aneh yang
disebut sebagai penyuntingan RNA (RNA editing). Pada perkembangan selanjutnya
diketahi bahwa sekuen mRNA sitokrom oksidase II (COII) pada tripanosoma
ternyata tidak sesuai dengan sekuens gen yang mengkodenya. Sekuens mRNA COII
diketahui mengandung 4 nukleotida yang tidak terdapat pada gen COII yang ada di
dalam kinetoplast (semacam mitokondria yang mengandung dua dna lingkar yang
terikat bersama menjadi struktur catanane). Ketiadaan keempat nukleotida
tersebut pada gen COII nampaknya dapat menyebabkan terjadinya mutasi pergeseran
pola baca (frame hift) yang dapat menyebabkan gen menjadi tidak aktif. Meskipun
demikian, mRNA yang dihasilkan ternyata mengandung empat nukleotida tersebut
sehingga tidak terjadi pergeseran pola baca. Rob banne berkesimpulan bahwa mRNA
tripanosoma tersebut dikopi dari suatu gen yang tidak lengkap, disebut sebagai
cryptogene, kemudian disunting lagi dengan menambahkan empat nukleotida yang
kesemuanya adalah urdine.
Penelitian-penelitian
berikutnya membuktian bahwa penyuntingan mRNA memang fenomena umum pada tripanosoma.
Bahkan, beberapa mRNA sunting secara sangat ekstensif, misalnya sukuens mRNA
COII Trypanosoma brucei sepanjang 731
nukleotiga mengandung 407 uridine (u) yang ditambahkan melalui proses
penyuntingan. Selain penambahan, penyuntingan pada mRNA COII juga menghilangkan
19 uridine yang dikode. Fenomena penyuntingan tersebut diketahui selalu terjadi
pada ujung 3’ dn tidak ada pada ujung 5’ dengan orientasi 3’ ke 5’.
Penyuntingan tersebut diketahui dilakukan oleh suatu molekul RNA yang disebut
sebagai guide RNA (gRNA). Molekul gRNA tersebut berhibidisasi dengan baigian
mRNA yang tidak di edit dan menyediakan nukleotida a dan g sebagai cetakan
untuk penggabungan nukleotida u yang tidak ada pada mRNA. Kadang-kadang gRNA
tidak mempunyai a atau g yang dapat berpasangan dengan u pada mRNA sehingga
nukleotida tersebut dihilangkan menggunakan enzim eksoniklease.
7.
Pustaka
Alberts B, Johnson A, Lewis J, et al. 2002. Molecular Biology of the Cell. 4th edition. New York: Garland Science
Gomez, M. Esther. R, Mercedes, Olivia, M and
Mario, A. 2010. Regulation of Gene Expression in Protozoa Parasites. (Review). Journal of
Biomedicine and Biotechnology. Volume 2010
T.
Kouzarides, 2007. Chromatin modifications and their function. Cell, vol.
128, no. 4, pp. 693–705,
Y. Hirose and J. L. Manley. 200. RNA polymerase II
and the integration of nuclear events. Genes and Development, vol. 14,
no. 12, pp. 1415–1429
Yuwono,
T. 2000. Biologi Molekuler. Jakarta:
Penerbit Erlangga
Langganan:
Postingan (Atom)